Jakarta, CNBC Indonesia – Gerak rupiah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) tampaknya masih akan volatile lantaran wait and see data neraca dagang RI yang akan rilis hari ini, Senin (15/1/2024).
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (12/1/2024) mata uang Garuda bertengger di posisi Rp15.545/US$, terdepresiasi 0,23% secara mingguan.
Depresiasi pekan lalu kembali melanjutkan tren pelemahan yang terjadi pada minggu sebelumnya sebesar 0,75%. Hal ini terjadi disinyalir karena tekanan indeks dolar AS (DXY) yang meningkat, hingga penutupan pekan lalu DXY terpantau berada di posisi 102,40. Nilai tersebut meningkat dibandingkan satu hari sebelumnya sebesar 102.29.
Tekanan terhadap DXY terutama dipengaruhi hasil inflasi AS yang tumbuh lebih panas dari perkiraan. Berdasarkan data dari Biro Statistik AS, inflasi di negeri Paman Sam pada Desember 2023 naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023 dan dari ekspektasi pasar yang proyeksi tumbuh 3,2% yoy.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023 dan lebih panas dari perkiraan sebesar 0,2% mtm.
Namun, untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif juga cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%.
Di sisi lain, pasar tenaga kerja AS juga masih ketat, terlihat dari data pekerjaan di luar pertanian atau Non Farm Payroll (NFP) tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut diluar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.
Tingkat pengangguran juga masih terbilang rendah, hingga akhir 2023 berada di angka 3,7%. Kemudian yang terbaru, data klaim pengangguran pada pekan lalu yang berakhir 6 Januari 2024 tercatat turun 1000 klaim menjadi 202.000, menempati posisi terendah selama lima pekan beruntun.
Gabungan antara inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja AS yang memanas potensi membuat ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) dipangkas tahun ini lebih lambat dari perkiraan.
Kendati begitu, memasuki pekan ketiga Januari 2024, nampaknya pelaku pasar masih akan merespon data yang rilis pekan lalu, diantaranya harga produsen inti AS atau Core Producer Price Index (PPI) untuk periode Desember 2023 yang secara tidak terduga melandai ke 1,8% yoy. Pertumbuhan tersebut lebih baik dari perkiraan pasar sebesar 1,9% yoy dan dari satu bulan sebelumnya sebesar 2% yoy.
Melandai-nya PPI bisa menjadi kabar baik serta pemanis yang potensi menekan indeks dolar AS turun di tengah memanas-nya inflasi konsumen dan pasar tenaga kerja AS.
Kemudian, beralih pada hari ini, Senin (15/1/2024), Indonesia akan merilis data neraca perdagangan untuk Desember 2023 dan sepanjang tahun lalu.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2023 akan mencapai US$ 1,95 miliar.
Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan November 2023 yang mencapai US$ 2,41 miliar. Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 8,82 % (year on year/yoy) sementara impor naik 0,74% pada Desember 2023.
Sebagai catatan, nilai ekspor November 2023 terkoreksi 8,6% (yoy) dan turun 0,7% (month to month/mtm) menjadi US$ 22 miliar. Nilai impor November naik 4,9% (yoy) dan menanjak 3,3% (yoy) menjadi US$ 19,59 miliar.
Ekspor diperkirakan melandai pada Desember 2023 seiring dengan melandainya harga komoditas. Sebaliknya, impor diperkirakan akan naik sejalan dengan permintaan Natal dan tahun baru (Nataru).
Indonesia sangat menggantungkan ekspor kepada komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Sawit dan batu bara menyumbang ekspor sekitar 30% dari total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan ekspor.
Teknikal Rupiah
Secara teknikal dalam basis waktu per jam, pergerakan nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS masih dalam tren sideways, namun ada potensi pergerakan melemah terbatas ke resistance terdekat di Rp15.555/US$. Posisi ini didapatkan dari garis rata-rata selama 20 jam dan 50 jam yang hampir berdekatan (MA20 dan MA50).
Jika harga melemah terbatas kemudian ada pembalikan arah, pelaku pasar bisa mencermati area penguatan terdekat yang potensi diuji dengan memperhatikan support di Rp15.525/US$. Posisi tersebut didapatkan dari garis rata-rata selama 200 jam atau moving average 200 (MA200). https://cekikikan.com/